Kamis, 13 Maret 2014

Kupu-Kupu di Taman Syurga

       Menunggu sesuatu ke sampingmu kembali adalah hal yang menguras separuh hidupmu. Terlebih jika yang kau tunggu itu adalah orang yang telah merelakan rahimnya rusak olehmu. Ku duduk di depan pintu sebuah ruangan yang ibu tempati sambil memainkan jemari. Detak jantungku terdengar oleh diriku sendiri. Di dalam sana pun ada sosok yang tengah menghitung detak jantung ibu. Setiap detiknya adalah helaan nafasku. Aku ingin membawa ibu kembali ke rumah sebelum ada yang membawa ibu secara paksa seperti waktu itu.  

Ketika kebosanan mulai menyelimuti hatiku dan membawa anganku lepas, sayup-sayup masa lalu mulai mengisi kecemasan dalam dadaku.
 “Nak, jangan pernah lupakan shalat ya, ibu tak bisa mengingatkanmu sepanjang waktu”
“Iya Bu, ibu tenang aja. Lili pasti ingat selalu pesan ibu. Bu, waktunya minum obat”
         Aku tersenyum lirih melihat senyuman manis ibu. ibu itu cantik seperti aku, begitu kata almarhum ayah. Tetangga di sebelah pun sering menggoda kami karena wajah kami yang serupa. Andai ayah masih ada di sini. Pasti ayah tak henti-hentinya menggoda kami. 
  Ibu dan aku bagai sekawanan kupu-kupu yang selalu terbang menyusuri taman dan menghisap madu bersama-sama. Rasa-rasanya aku tak pernah terpisah dari ibu. sejak kepergian ayah, aku mulai belajar untuk menghargai apa yang sekarang menjadi milikku. Ibu, ya, dia milikku sekarang.
        Setiap menitnya, ibu selalu saja mengkhawatirkanku. Umurku memang tak semuda dahulu namun semangat ibu tetap menjadi-jadi saat jam makan siang tiba. Apapun yang menjadi kesukaanku pasti dimasaknya dengan penuh cinta. Jadilah aku gadis 20 tahun yang selalu disuapi. Ibu selalu menggodaku manja.
       Aku tak pernah tahu ternyata tak selamanya kupu-kupu itu terbang beriringan bersama. Dalam perjalanannya selalu ada godaan yang menghalangi mereka. ada yang merusak kebersamaan mereka, ada tangan-tangan jahil yang mengusik kesenangan mereka. sungguh. Aku selalu membenci jika ada yang mengusik kesenangan kami.
    Segalanya berubah ketika ibu divonis kanker Rahim oleh dokter.  Setahun setelah kematian ayah, kesehatan ibu menurun. Ibu selalu menguatkan dirinya dan bersikap tegar di hadapanku. Akulah yang harus bersusah payah membujuknya untuk pergi menemui dokter. Ibu selalu merasa kuat. Ia selalu lebih mengkhawatirkan kesehatanku dari pada kesehatan dirinya sendiri. Padahal aku tahu, ibu tak sekuat yang kulihat. Tubuhnya telah rapuh. Dia akan mudah tergolek lemas jika ia kelelahan. Senyumku terasa hambar ketika melihat ibu tidur di kasur khusus itu. Wajah ibu tak sesegar dahulu, kini tubuhnya kurus dan menghitam akibat kemoterapi. Tak ada lagi yang memelukku hangat ketika dingin menusuk. Seolah ada sebuah badai yang merusak taman indah kami. Setiap malam aku melihat ibu tertidur sangat pulas. Aku sengaja membangunkannya tengah malam untuk memastikan bahwa ibu hanya tertidur.
        “Bu, ibu?” ibu tak bergeming sedikitpun. Jantungku berdegup kencang, seperti ada sesuatu yang            menarik air mataku. “Ibu bangun Bu,”
        “Lili? Kenapa Nak?”
         Ibu mendekapku setiap malam. Aku selalu berfikir, apakah dekapan ini menjadi yang terakhir ataukah masih ada hari esok. Ibu tahu bahwa aku takut kehilangan dirinya. Entah apa yang ada dalam benakku. Aku seperti menunggu kematian ibu. namun bukankah setiap manusia memang akan menemui ajalnya? Hanya saja, aku tak siap jika harus saat ini. aku masih ingin bermain di taman setiap paginya, menghisap madu setiap kami kehausan. Biarkanlah taman kami indah dengan alaminya
Sampai suatu ketika taman kami dirusak kembali.
 Ibu mengeluarkan banyak darah dari mulutnya. Ibu tak sadarkan diri hampir dua hari lamanya. Inilah di saat sosok itu membawa ibu pergi. Aku hanya termenung melihat banyak selang yang masuk ke dalam tubuhnya. Ibu pasti merasa sakit. Banyak sekali jarum yang menempel. Pasti ia ingin aku melepasnya. Apa ibu tak rindu padaku? Mengapa ibu tak bangun dan mendekapku lagi? Sesekali aku mengecup kening ibu yang pucat. Aku mencium erat tangan ibu. inilah tangan malaikat kiriman tuhan. Namun tangan ini telah tertidur sejak kemarin. Aku hanya bisa membisikan kata-kata indah di sampingnya. Berharap ibu mendengar bisikanku.    
          “Bu, ibu dengar Lili? Bu, yang kuat ya Bu.. lili selalu menunggu ibu di sini. ibu tak usah khawatirkan lili. Lili selalu makan tepat waktu bu. Ibu selalu ada di sini (sambil meletakan tangan ibu ke dadaku)” ketika aku membisikan sesuatu, ibu meneteskan air matanya. Aku berulang kali menghapusnya dan menggenggam tangan ibu.
           Tahukah ibu? kini aku tahu bahwa setiap yang ada akan menjadi tiada. Rasanya seperti angin yang tiba-tiba hilang berganti menjadi kemarau gersang. Tahukah ibu? Tubuhku kosong tak bernyawa. Terima kasih atas kenangan yang telah terukir. Rasanya baru sebentar aku bersamamu Bu, kau ajarkan aku akan cinta sehingga aku mampu mencintaimu seperti ini. Bu, aku masih menunggu ibu. ibu akan tetap di sini ataukah ibu akan pergi?
           “Tut tut tut tut mesin” yang terpasang pada tubuh ibu berbunyi mengagetkanku. Beberapa perawat berlari menghampiri ibu dan mempersilahkanku untuk menunggu di luar. Aku tahu ini bukan pertanda baik. Aku mencium kening ibu kembali. Akan kurelakan ia jika ini memang harus berakhir saat ini.
          Aku menyadari bahwa penantian tak akan menguras separuh hidupku. Aku hanya tak tahu apa itu ikhlas. Kini ibu telah mengajarkannya untukku.
          Lamunanku buyar ketika seorang perawat membuka pintu ruangan. lalu diikuti seorang lelaki berjas putih. Aku tak perlu melontarkan beberapa pertanyaan mengenai apa yang terjadi di dalam sana dua jam lamanya. Aku cukup mendongakkan kepalaku ke arahnya. Inilah akhir dari penantianku. Dokter itu hanya menggelengkan kepalanya. Dan berlalu.

Sesuatu yang ada kelak menjadi tiada
Janganlah menunggu sebuah kesetiaan
Suatu saat kau kan mengerti, Nak

Begitu pesan ibu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar