Rabu, 11 Juni 2014

Seburuk itukah aku di matamu, Dik?

Kadang terbesit pertanyaan, apaka kesabaran ada batasnya?
Mengapa aku merasa tak kuat menghadapi ini semua?

         Dia baru saja membanting pintu kamarnya, gantungan yang menempel di pintu turut bergoyang. Apalagi hatiku, rasanya seperti dilempari sebongkah batu. Rasanya sakit sekali. Kau pintu! kau hanya merasakan memar di bagian sudut kayu. Lalu bagaimana jika hatiku yang memar? 
        Entah siapa yang salah di antara kami, aku hanya ingin menawarkan beberapa kesepakatan di rumah ini. Dia melakukan ini, aku melakukan itu. Hanya itu. Aku ini kakakmu, maka hanya kau yang bisa kuajak bicara dewasa. Tubuhku memang baik-baik saja. Sebenarnya aku masih sanggup menanggung rumah ini sendiri. Namun aku bukanlah robot, aku manusia yang bisa merasakan lelah. Dalam lelah itu, aku tak ingin mama ikut merasakan lelah. Maka, aku ajakkau untuk membantuku di rumah ini. Yah! aku seperti tuan rumah dan kau babunya. Padahal bukan begitu gadis manis, aku ingin kita sama-sama membantu mama.  Kita adalah pembantu bagi orangtua kita, Bukankah itu ibadah?
       Namun, aku dipandang bak malaikat. Padahal aku tak akan pernah jadi sempurna. Saat aku mengatakan "Lebih baik begini, jangan begitu" itu bukan berarti aku tahu segala hal dan yang kulakukan selalu benar. Tapi, itu caraku agar kau tak mengulang kesalahan yang dulu kulakukan. Aku tak ingin kau mengalami masa-masa penyesalan sepertiku. Kau sedang belajar, dan aku merelakan diri untuk mengajarimu meskipun umpatan yang kuterima. 
       Saat kau berfikir aku ini masalah untuk hidupmu, teruskan saja jika memang aku ini masalah. Aku tak pernah menganggapmu masalah. Justru aku berfikir sepertimu. Aku masalah bagimu dan juga keluarga ini. Kau tak tahu bahwa di dalam kamar aku memikirkanmu, pun dengan adik-adik yang lain. Jika mama bapak tak ada, bagaimana kalian? Bagaimana masa depan kalian? Jodoh kalian? rezeki kalian? keimanan kalian? 
Setiap malam aku memikirkan diriku sendiri, bagaimana cara sembuh dari penyakitku? Ada hal yang sedang kutakutkan. Aku takut harus mengalami operasi dua kali, merepotkan mama-bapak, menguras dompet mereka, menguras fikiran mereka. Maka, kucoba memikirkan jalan kesembuhanku sendiri. Maka, saat kau berpaling dan menjauh dariku. Aku merasa terpukul. Banyak sekali PR di rumah ini.

    Apa kau ingat pesan waktu itu? Entah mengapa aku ingin meminta maaf padamu. Ingin aku mengungkapkan apa yang kurasakan. Maka, kukirim pesan singkat berisi permohonan maafku dan beberapa ungkapan rasa sayang. Mana ada kakak yang benci pada adiknya? meskipun di televisi banyak yang seperti itu, namun aku bukan bagian darinya. Kutunggu balasan darimu seharian.  "Sudah ada pesan dariku?" tanyaku sesampainya di rumah. "Tak ada pulsa" jawabmu. Ya kuanggap wajar. Namun hatiku seperti drisayat. Aku tahu kau tak ada pulsa, tapi mengapa tak langsung mengungkapkan itu saat di rumah? kau diam sesaat sebelum kutanya mengapa kau tak membalas pesan itu. Dan kau tak membalas pesan itu secara lisan saat kusampai di rumah. Kau hanya diam bahkan hingga saat ini aku menunggu jawaban pesan singkat itu. Namun tak pernah ada. 
     Adikku, jika aku marah. maafkanlah. Aku pun telah memaafkanmu meskipun kau tak pernah memintanya. Meski begitu, Aku pun ingin sekali mendengar kau berkata "Maafkan aku juga kak," sekadar ucapan indah yang ingin kudengar. Tapi tidak pernah. Mungkin kau merasa kau yang terluka dan akulah satu-satunya yang salah di rumah ini. Ya sudah tak apa, memang aku yang harus terus meminta maaf. 
         Bantingkan saja terus pintumu untukku. Namun, aku kasihan pada pintu. Sesuatu yang dibenturkan terlalu sering lama-lama akan rapuh. Tak kuat seperti dahulu hingga pada akhirnya kau harus mengganti pintumu. Jika aku tak akan pernah bisa jadi kakakmu, maka carilah kakak yang lain. Mungkin akan ada kakak pengganti yang lebih baik. Yang lebih sempurna yang nyaris tanpa cela. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar