Aku tak pernah mengenalnya..
Tak pernah menatapnya walau sedetik
Tak pernah!
Bagaimana kau bisa mencintainya tanpa mengenalnya?
Dia bukan manusia biasa,
Dia bukan manusia biasa,
Semoga bom waktu itu akan membawaku padanya
Telah
lama aku mengenalnya, namun ada sisi yang tak pernah aku pahami dari
dirinya. Rumahnya hanya berada tepat di depan rumahku. Aku pun telah mengenal
keluarganya sejak kami duduk di sekolah dasar. Dia sahabatku sejak sekolah dasar
namun sejak menengah atas aku mulai jauh dan yang kudengar dia telah aktif
menjadi seorang aktivis di suatu gerakan islam di luar sekolah. Ya! Aku merindunya.
“Kamu
mau ngapain nanya-nanya soal Fauzi si
aneh itu?” tanya Rina
“Kamu sadar ga? Dia itu sholeh banget, padahal aku tahu gimana dia
dulunya”
“memang gimana? Dia liberal banget ya?
“Gak
liberal tapi dia itu ya normal aja
kaya anak lain, aku kangen dia Rin,” Tukasku.
Sejak kapan aku menyukainya? Ah
tidak! Ini bukan cinta tapi ini soal hubungan persahabatan yang telah putus.
Aku merindunya sebagai teman saat aku merasa tidak nyaman berada di rumah atau
saat aku merasa sepi dan tak ada kawan. Dia berbeda kelas denganku namun
kelasnya tepat berada di samping kelasku. Dia memang tak berubah banyak di mata
teman sekitarnya. Namun bagiku ada yang berbeda. Dia jarang bahkan tak pernah
lagi berkunjung ke rumahku atau untuk sekedar duduk di depan rumah sebab
notebene rumah kami berhadapan. Apa ada yang salah dengan Aprilia? Aprilia? Itu
namaku!
Entah apa yang aku fikirkan. Malam
ini aku ingin sekali melihat Fauzi di balkonnya tempat kami sering berteriak
hendak membicarakan sesuatu yang urgent.
Tapi aku tak melihatnya di sana. Mungkin Fauzi ingin mencari sahabat yang lebih
baik dari diriku. Temanku yang satu organisasi dengannya pernah memberikan
pendapat. Dia menjelaskan Fauzi seperti itu karena ia telah mengenal islam dan
islam mengajarkan bahwa tidak seharusnya laki-laki dan perempuan berhubungan
dekat sekali, untuk itulah Fauzi sedikit menjaga jarak denganku. Ya! Islam?
Separah itukah islam sampai harus memutus hubungan persahabatan kami? Dan Fauzi
menerima itu!
Pagi ini dan dengan kegalauan aku sengaja
pergi
“April!
Di depan ada Fauzi tuh!,” seru mama.
“Iya ma, disuruh masuk aja dulu atau
ke kamar April aja langsung”
Tiba-tiba berdiri seorang lelaki
tampan yang telah kukenal dengan senyumnya yang khas berdiri di ambang pintu
kamarku. Mataku tak henti-hentinya menerobos setiap sisi lalu berujung di pintu
kamar.
“April! Maaf udah lama aku ga kesini,” sela Fauzi di ambang pintu.
“Ya gak apa-apa, lagi pula aku udah tahu apa maksud dari semua ini.”
“Oh
gitu, pasti kamu tahu dari Leli kan? Dia kan ngaji juga di tempat yang sama. Oh
ya, ngobrol di bawah yuu, sepertinya
ada kesalahpahaman di antara kita. Kita di bawah supaya ada mama kamu jadi kita
ga berkhalwat”
“Ha? Kawat?”
“Ah
lu! Khawat itu ga berduaan maksudnya.” tukas Fauzi dengan tertawanya yang
renyah.
Kami
pun tertawa bersama dan melanjutkan percakapan di teras rumah ditemani mama
yang sedang menyiram tanaman. Ternyata Fauzi tak pernah berubah. Meskipun ada
dari dirinya yang berbeda namun gaya bicaranya masih sama seperti yang dulu
hanya saja yang ia bicarakan banyak mengenai islam. Yah! Materi ini yang
terkadang justru membuatku mengantuk. Tapi saat ini tidak, Fauzi menjelaskan
segala hal yang ia ketahui mengenai islam. Dan akhirnya dia memintaku untuk
menutup auratku, menjaga lisanku, pergaulanku, dan segala hal yang ku anggap
itu adalah suatu kewajaran.
“Lu
di hijab ya? Aurat itu harus ditutup, sebelum bom waktu keburu meledak,”
“Iya
iya, bom waktu gimana?”
“ajalmu
Pril,” tukas Fauzi
“Iihh
jangan nakut-nakutin! Emang apaan sih yang bikin lu jadi gini?”
“Mau
tau? Berkat arloji yang waktu itu kita temuin di semak-semak dekat mesjid”
“Ah
bercanda lu! Arloji butut itu bisa apa coba?”
“Kamu
belum tahu apa-apa. Kita bisa memasuki dimensi yang berbeda dengan memutar
jarum arloji itu ke angka 12, aku bawa arlojinya kok, ini ambil”
Arloji
butut berwarna emas dengan beberapa goresan itu membuatku berfikir apakah Fauzi
sedikit gila? Aku langsung berlari masuk ke dalam kamar. Aku coba memutar arah
jarum jam ke angka 12 dan sesuatu pun terjadi. Ya! Tiba-tiba aku dihadapkan
pada suatu cahaya yang sangat menyilaukan mata. Aku tertarik kedalamnya dan aku
berteriak!
Astagfirullah
Aku
berada di mana ini? Tiba-tiba aku berada di tengah padang pasir seorang diri.
Hanya sebuah pohon yang tak pernah ada
di Indonesia yang kutemui di tempat ini. Aku berteduh di bawah pohon itu.
Mungkin itu sebuah pohon kurma. Jadi, itu artinya aku ada di Arab?
“Fauzi!
Tolongin dong!”
Saat
aku berteriak, aku melihat ada seorang laki-laki bersorban yang sedang
menunggangi seekor unta. Dan anehnya ia tak mendengar teriakanku sama sekali.
Aku menyusuri jejak kaki unta itu. Dan akhirnya aku sampai di tempat tinggal
orang-orang arab itu.
“April!
Kamu sendiri? Kenapa ga bilang dulu. Ini di mekah pril”
“Aku
kepo banget zi, aku sedikit ga
percaya makanya aku butuh bukti,” jawabku.
“Kita
perlu penerjemah saat di sini. Aku bawa alat penerjemah digital. Kamu cukup
rekam suaranya lalu secara otomatis akan berubah menjadi bahasa indonesia.
Kurasa ini perjalanan spiritual yang penting banget buatmu pril, aku ga akan ganggu. Aku tinggal ya. Saat jarum
arloji ada pada angka 4 kamu harus diam di tempat tadi kamu masuk okay?
“iya
zi, aku penasaran. Aku percaya kalau ini baik buatku karenamu. Kamu harus
tanggung jawab ya kalau ada apa-apa”
“iya,
ini sangat baik untukmu sahabatku,” seru Fauzi sambil berlalu.
Ternyata
mereka memang tak bisa melihatku, aku berada pada dimensi waktu yang berbeda
dengan mereka. Aku bersembunyi di balik bilik sebuah kamar. Aku melihat seorang
yang tengah duduk. Kurasa orang itu sedang berdzikir. Dan ada seseorang dari
luar yang memanggilnya dan mulai kurekam suara mereka. Dan aku tahu bahwa yang
kulihat itu adalah Rasulullah. Hatiku bergetar. Inikah makhluk yang disucikan
Allah? Rupanya menyejukan hati dan senyumnya tulus. Aku tiba-tiba menangis. Aku
pernah merindukan sosok ini. Walaupun aku kini jauh dari islam. Namun dulu aku
pernah dikenalkan dengan islam sejak aku duduk di sekolah menengah pertama dan
karena itulah aku tak tahu sejak kapan Fauzi berubah.
Aku
ikuti langkah mereka berdua. Ternyata aku berada di belakang Rasul dan Abu
Bakar Asshidiq. Betapa gagahnya Abu Bakar. Tuturnya sangat lembut kepada
rasul-Nya itu. Dalam alat digital ini aku dengar bahwa mereka sedang
membicarakan soal dakwah mereka. Ya! Mereka akan dakwah kepada warga mekah saat
itu. Aku mencoba memutar sedikit jarum arloji itu. Aku tertarik kembali pada
peristiwa lain. Peristiwa di mana aku melihat Rasul dan para sahabat berjalan
di pusat kota mekah dan kaum Quraisy melempari mereka dengan batu. Hingga
kulihat wajah Rasul penuh dengan darah dan giginya rontok. Wajahku basah. Aku
menangis. Jahat sekali orang-orang itu! Iya melempari nabiku!
Aku
putar beberapa menit, aku berada pada peristiwa pemboikotan yang dilakukan Bani
Quraisy terhadap Bani Hasyim. Tak ada makanan yang dapat mereka makan. Aku
melihat mereka memakan rumput. Aku benci melihat ini! Hidupku lebih nyaman dari
orang-orang ini. Hidup mereka adalah perjuangan menegakan agama Allah. Tapi apa
yang aku lakukan? Aku menyia-nyiakan semuanya. Ya Allah, jahatnya kaum Quraisy!
Semoga Allah melaknat mereka. Tidak
seorang penduduk Mekkah pun yang diperkenankan melakukan hubungan jual beli
dengan Bani Hasyim. Persetujuan itu dibuat dalam bentuk piagam dan
ditandatangani bersama serta disimpan di dalam Kabah. Dengan pemboikotan ini,
seluruh umat Islam terkepung di lembah pegunungan dan terputus dari berbagai
komunikasi dengan dunia luar.
Pemboikotan ini terjadi selama tiga tahun.
Yang kulihat Akibat pemboikotan tersebut, Bani Hasyim menderita kelaparan,
kemiskinan, kesengsaraan. Tubuh mereka sangat kurus dan di bawah sebuah pohon
aku mendengar lantunan ayat suci Al-Quran, aku menangis kembali. Yang membaca
ayat suci itu adalah Rasulullah. Betapa berat perjuangan Rasul dan para
sahabat. Itu bukti kecintaan mereka kepada Allah. Lalu bagaimana dengan
kehidupan di zamanku? Mereka berfoya-foya seolah-olah tak ada hal yang penting
bagi mereka. Orang-orang di zamanku terlalu asyik dengan urusannya dan
melupakan semua perintah Allah lewat perjuangan Rasul. Seperti diriku ini yang
enggan diatur oleh syariat islam. Aku malu ya Allah!
Aku putar lagi jarum arloji itu dan aku berada
di suatu rumah dan aku melihat rasul sedang menangis. Dan seorang laki-laki
tegap bersama perempuan yang sangat cantik datang menemui rasul yang tengah
menangis. Siapakah mereka? Apa yang mereka bicarakan? Aku langsung merekam
percakapan mereka. Ternyata itu Fatimah, putri Rasul dan suaminya saydina Ali.
Fatimah bertanya kepada ayahnya lalu Beliau menjawab;
“Pada
malam aku di-isra’-kan, aku melihat perempuan-perempuan sedang disiksa dengan
berbagai siksaan di dalam neraka. Itulah sebabnya mengapa aku menangis. Karena
menyaksikan mereka disiksa dengan sangat berat dan mengerikan.”
Fatimah
kemudian menanyakan apa yang dilihat ayahandanya.
“Aku
lihat ada perempuan digantung rambutnya, otaknya mendidih. Aku lihat perempuan
digantung lidahnya, tangannya diikat ke belakang dan timah cair dituangkan ke
dalam tengkoraknya. Aku lihat perempuan yang badannya dseperti himar,
beribu-ribu kesengsaraan dihadapinya. Aku lihat perempuan yang rupanya seperti
anjing, sedangkan api masuk kelalui mulut dan keluar dari duburnya sementara
malakat memukulnya dengan gada dari api neraka,”
Lalu
Fatimah menanyakan mengapa mereka disiksa seperti itu. Rasulullah menjawab;
“Wahai
putriku, adapun mereka yang tergantung rambutnya hingga otaknya mendidih adalah
wanita yang tidak menutup rambutnya sehingga terlihat oleh laki-laki yang bukan
muhrimnya. Perempuan yang digantung susunya adalah istri yang menyusui anak
orang lain tanpa seizin suaminya. Perempuan yang tergantung kedua kakinya ialah
yang tidak taat kepada suaminya, ia keluar rumah tanpa izin suaminya, dan
perempuan yang tidak mau mandi suci dari haid dan nifas. Perempuan yang memakan
badannya sendiri ialah karena ia berhias untuk lelaki yang bukan muhrimnya dan
suka mengumpat orang lain. Perempuan yang memotong badannya sendiri dengan
gunting api neraka karena ia memperkenalkan dirinya kepada orang lain yang bukan muhrim dan dia bersolek
supaya kecantikannya dilihat laki-laki bukan muhrimnya.” Mendengar itu, Sayidina Ali dan Fatimah Az-Zahra pun
turut menangis. Aku merinding dan aku menangis kembali mendengarnya. Selama ini
aku tak menutup auratku secara sempurna. Aku tak pernah mau mempelajari
ayat-ayat Allah. Neraka itu pedih! Ya Allah lindungi aku dari siksa neraka.
Arloji
menunjukan pukul 03:30 dan aku memasuki dimensi lain. Aku melihat pagi itu, Rasulullah dengan suara terbata-bata memberikan
petuah: “Wahai umatku, kita semua ada
dalam kekuasaan Allah dan Cinta Kasih-Nya. Maka taati dan bertakwalah hanya
kepada-Nya. Kuwariskan dua hal pada kalian, Sunnah dan Al-Qur’an. Barang siapa
yang mencintai Sunnahku berarti mencintai aku, dan kelak orang-orang yang
mencintaiku, akan bersama-sama masuk surga bersama aku,".
Khutbah singkat itu diakhiri dengan
pandangan mata Rasullah yang teduh menatap sahabatnya satu persatu. Abu Bakar
menatap mata itu dengan berkaca-kaca. Umar dadanya naik turun menahan nafas dan
tangisnya. Ustman menghela nafas panjang dan Ali menundukan kepalanya
dalam-dalam.
Isyarat itu telah datang, saatnya
sudah tiba “Rasulullah akan
meninggalkan kita semua,” desah hati semua sahabat kala itu. Inilah
detik-detik kepergian rasulullah. Aku memandang dari jauh kesedihan wajah para
sahabat rasul. Lalu kuputar 10 menit dan matahari kian tinggi, tapi pintu rumah
Rasulullah masih tertutup. Sedang di dalamnya, Rasulullah sedang terbaring
lemah dengan keningnya yang berkeringat dan membasahi pelepah kurma yang
menjadi alas tidurnya.
Detik-detik semakin dekat, saatnya
Izrail melakukan tugas. Perlahan Ruh Rasulullah ditarik. Tampak seluruh tubuh
Rasulullah bersimbah peluh, urat-urat lehernya menegang.
“Jibril,
betapa sakit sakaratul maut ini,” ujar Rasulullah mengaduh lirih.
Fatimah terpejam, Ali yang di
sampingnya menunduk semakin dalam dan Jibril memalingkan muka.
“Jijikkah
engkau melihatku, hingga kaupalingkan wajahmu, wahai Jibril?” tanya
Rasulullah pada malaikat pengantar wahyu itu.
“Siapakah
yang tega, melihat kekasih Allah direngut ajalnya,” kata Jibril.
Sebentar kemudian terdengar Rasulullah memekik karena sakit yang tak
tertahankan lagi.
“Ya
Allah, dahsyat nian maut ini, timpakan saja semua siksa maut ini kepadaku,
jangan kepada umatku.” Badan Rasulullah mulai dingin, kaki dan dadanya sudah
tak bergerak lagi. Bibirnya bergetar seakan hendak membisikan sesuatu, Ali
segera mendekatkan telinganya.
“Peliharalah
shalat dan santuni orang-orang lemah diantaramu” Di luar
pintu, tangis mulai terdengar bersahutan, sahabat saling berpelukan. Fatimah
menutupkan tangan diwajahnya, dan Ali kembali mendekatkan telinganya ke bibir
Rasulullah yang mulai kebiruan.
“Ummatii.
ummatii. ummatii.” Ucap Rasul dengan lirih. Tangisku pecah seketika itu. Dari
sudut kamar Rasul aku duduk dan menangis menatap kesedihan yang melingkupi
ruangan itu. Bagaimana tidak! Rasul mengingat umatnya sampai ia wafat. Tapi
kami melupakannya. Ya Allah pertemukan dan izinkan aku bertemu dengannya di
surga-Mu kelak.
Tiba saatnya aku kembali ke dimensi
tempatku berada. Aku memiliki 10 menit lagi untuk berjalan ke tempat semula .
Tiba-tiba Fauzi memanggilku. Mataku merah dan tubuhku lemas.
“Kenapa Pril? Ayo kita balik lagi,
jangan sampai terlambat.”
“Aku baru sadar zi, selama ini aku
hina di mata Allah.”
“sudah pril, aku paham kok
perasaanmu,”
“sebentar zi, aku mau minta waktu
lima menit lagi. Aku mau melihat sesuatu.” Aku memutar arloji itu beberapa
putaran. Aku ingin melihat jodohku. Dimensi itu memperlihatkan diriku yang duduk
di pelaminan yang terpisah antara laki-laki dan perempuan. Aku sudah islami
kurasa. Aku memaksa Fauzi untuk diam dan tidak ikut mencari tahu siapa lelaki
yang menjadi jodohku. Alangkah terkejutnya diriku. Telah duduk seorang
laki-laki menggunakan pakaian rapi, dan orang itu adalah Fauzi. Aku dan Fauzi
saling menatap dan tanpa berkata apapun, kami menembus cahaya itu dan kembali
ke rumah tepatnya kamarku.
Tak ada sepatah kata yang terucap
dari Fauzi. Fauzi langsung berpamitan untuk pulang dan aku mengembalikan arloji
itu dan ternyata jarum arloji itu hilang.
“Yah Pril,
kamu orang terakhir yang pake arloji
ini, sekarang rusak. Kuharap kamu bisa menjada rahasia ini ya. Karena kalaupun
kita bicara, banyak orang yang akan mengira kita gila. Apalagi untuk yang
terakhir, kuharap itu menjadi rahasia kita. Oh ya, Leli akan menghubungimu
nanti. Kuharap kamu langsung mau mengkaji islam ya pril”
“Iya zi, aku
pasti jaga semua ini. Apalagi yang terakhir. Maaf kalau tadi aku udah lancang
dan bikin kita ngeliat semuanya”
“Ya gak
apa-apa Pril, itu kan bukan kehendak kita.”
“besok
datang kajian di mesjid komplek ya, bareng
Leli aja.”
“Iya zi
insya allah aku datang, cepet kamu pergi. Kamu bukan muhrimku sekarang”
“Ciee udah
tobat. Ok ok Assalamualaikum ”
“Syuttt
parah lu!”
Aku hampir tak percaya dengan semua
hal yang terjadi satu jam yang lalu. Aku seolah telah pergi selama
bertahun-tahun namun ternyata hanya 30 menit. Aku mulai merindunya. Merindukan
Rasulullah. Aku mencintai-Mu dan kekasih-Mu. Semoga bom waktu ini akan
membawaku pada-Nya dan kekasih-Nya, Rasulullah. Aamiin
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar