Rabu, 04 Desember 2013

Kekasih-Nya


Aku tak pernah mengenalnya..
Tak pernah menatapnya walau sedetik
Tak pernah!
Bagaimana kau bisa mencintainya tanpa mengenalnya?
Dia bukan manusia biasa, 
Semoga bom waktu itu akan membawaku padanya

            Telah lama aku mengenalnya, namun ada sisi yang tak pernah aku pahami dari dirinya. Rumahnya hanya berada tepat di depan rumahku. Aku pun telah mengenal keluarganya sejak kami duduk di sekolah dasar. Dia sahabatku sejak sekolah dasar namun sejak menengah atas aku mulai jauh dan yang kudengar dia telah aktif menjadi seorang aktivis di suatu gerakan islam di luar sekolah. Ya! Aku merindunya.

“Kamu mau ngapain nanya-nanya soal Fauzi si aneh itu?” tanya Rina
            “Kamu sadar ga? Dia itu sholeh banget, padahal aku tahu gimana dia dulunya”
            “memang gimana? Dia liberal banget ya?
            “Gak  liberal tapi dia itu ya normal aja kaya anak lain, aku kangen dia Rin,” Tukasku.
            Sejak kapan aku menyukainya? Ah tidak! Ini bukan cinta tapi ini soal hubungan persahabatan yang telah putus. Aku merindunya sebagai teman saat aku merasa tidak nyaman berada di rumah atau saat aku merasa sepi dan tak ada kawan. Dia berbeda kelas denganku namun kelasnya tepat berada di samping kelasku. Dia memang tak berubah banyak di mata teman sekitarnya. Namun bagiku ada yang berbeda. Dia jarang bahkan tak pernah lagi berkunjung ke rumahku atau untuk sekedar duduk di depan rumah sebab notebene rumah kami berhadapan. Apa ada yang salah dengan Aprilia? Aprilia? Itu namaku!
            Entah apa yang aku fikirkan. Malam ini aku ingin sekali melihat Fauzi di balkonnya tempat kami sering berteriak hendak membicarakan sesuatu yang urgent. Tapi aku tak melihatnya di sana. Mungkin Fauzi ingin mencari sahabat yang lebih baik dari diriku. Temanku yang satu organisasi dengannya pernah memberikan pendapat. Dia menjelaskan Fauzi seperti itu karena ia telah mengenal islam dan islam mengajarkan bahwa tidak seharusnya laki-laki dan perempuan berhubungan dekat sekali, untuk itulah Fauzi sedikit menjaga jarak denganku. Ya! Islam? Separah itukah islam sampai harus memutus hubungan persahabatan kami? Dan Fauzi menerima itu!
            Pagi ini dan dengan kegalauan aku sengaja pergi
“April! Di depan ada Fauzi tuh!,” seru mama.
            “Iya ma, disuruh masuk aja dulu atau ke kamar April aja langsung”
            Tiba-tiba berdiri seorang lelaki tampan yang telah kukenal dengan senyumnya yang khas berdiri di ambang pintu kamarku. Mataku tak henti-hentinya menerobos setiap sisi lalu berujung di pintu kamar.
            “April! Maaf udah lama aku ga kesini,” sela Fauzi di ambang pintu.
            “Ya gak apa-apa, lagi pula aku udah tahu apa maksud dari semua ini.”
“Oh gitu, pasti kamu tahu dari Leli kan? Dia kan ngaji juga di tempat yang sama. Oh ya, ngobrol di bawah yuu, sepertinya ada kesalahpahaman di antara kita. Kita di bawah supaya ada mama kamu jadi kita ga berkhalwat”
            “Ha? Kawat?”
“Ah lu! Khawat itu ga berduaan maksudnya.” tukas Fauzi dengan tertawanya yang renyah.
Kami pun tertawa bersama dan melanjutkan percakapan di teras rumah ditemani mama yang sedang menyiram tanaman. Ternyata Fauzi tak pernah berubah. Meskipun ada dari dirinya yang berbeda namun gaya bicaranya masih sama seperti yang dulu hanya saja yang ia bicarakan banyak mengenai islam. Yah! Materi ini yang terkadang justru membuatku mengantuk. Tapi saat ini tidak, Fauzi menjelaskan segala hal yang ia ketahui mengenai islam. Dan akhirnya dia memintaku untuk menutup auratku, menjaga lisanku, pergaulanku, dan segala hal yang ku anggap itu adalah suatu kewajaran.
“Lu di hijab ya? Aurat itu harus ditutup, sebelum bom waktu keburu meledak,”
“Iya iya, bom waktu gimana?”
“ajalmu Pril,” tukas Fauzi
“Iihh jangan nakut-nakutin! Emang apaan sih yang bikin lu jadi gini?”
“Mau tau? Berkat arloji yang waktu itu kita temuin di semak-semak dekat mesjid”
“Ah bercanda lu! Arloji butut itu bisa apa coba?”
“Kamu belum tahu apa-apa. Kita bisa memasuki dimensi yang berbeda dengan memutar jarum arloji itu ke angka 12, aku bawa arlojinya kok, ini ambil”
Arloji butut berwarna emas dengan beberapa goresan itu membuatku berfikir apakah Fauzi sedikit gila? Aku langsung berlari masuk ke dalam kamar. Aku coba memutar arah jarum jam ke angka 12 dan sesuatu pun terjadi. Ya! Tiba-tiba aku dihadapkan pada suatu cahaya yang sangat menyilaukan mata. Aku tertarik kedalamnya dan aku berteriak!
Astagfirullah
Aku berada di mana ini? Tiba-tiba aku berada di tengah padang pasir seorang diri. Hanya  sebuah pohon yang tak pernah ada di Indonesia yang kutemui di tempat ini. Aku berteduh di bawah pohon itu. Mungkin itu sebuah pohon kurma. Jadi, itu artinya aku ada di Arab?
“Fauzi! Tolongin dong!”
Saat aku berteriak, aku melihat ada seorang laki-laki bersorban yang sedang menunggangi seekor unta. Dan anehnya ia tak mendengar teriakanku sama sekali. Aku menyusuri jejak kaki unta itu. Dan akhirnya aku sampai di tempat tinggal orang-orang arab itu.
“April! Kamu sendiri? Kenapa ga bilang dulu. Ini di mekah pril”
“Aku kepo banget zi, aku sedikit ga percaya makanya aku butuh bukti,”  jawabku.
“Kita perlu penerjemah saat di sini. Aku bawa alat penerjemah digital. Kamu cukup rekam suaranya lalu secara otomatis akan berubah menjadi bahasa indonesia. Kurasa ini perjalanan spiritual yang penting banget buatmu pril, aku ga akan ganggu. Aku tinggal ya. Saat jarum arloji ada pada angka 4 kamu harus diam di tempat tadi kamu masuk okay?
“iya zi, aku penasaran. Aku percaya kalau ini baik buatku karenamu. Kamu harus tanggung jawab ya kalau ada apa-apa”
“iya, ini sangat baik untukmu sahabatku,” seru Fauzi sambil berlalu.
Ternyata mereka memang tak bisa melihatku, aku berada pada dimensi waktu yang berbeda dengan mereka. Aku bersembunyi di balik bilik sebuah kamar. Aku melihat seorang yang tengah duduk. Kurasa orang itu sedang berdzikir. Dan ada seseorang dari luar yang memanggilnya dan mulai kurekam suara mereka. Dan aku tahu bahwa yang kulihat itu adalah Rasulullah. Hatiku bergetar. Inikah makhluk yang disucikan Allah? Rupanya menyejukan hati dan senyumnya tulus. Aku tiba-tiba menangis. Aku pernah merindukan sosok ini. Walaupun aku kini jauh dari islam. Namun dulu aku pernah dikenalkan dengan islam sejak aku duduk di sekolah menengah pertama dan karena itulah aku tak tahu sejak kapan Fauzi berubah.
Aku ikuti langkah mereka berdua. Ternyata aku berada di belakang Rasul dan Abu Bakar Asshidiq. Betapa gagahnya Abu Bakar. Tuturnya sangat lembut kepada rasul-Nya itu. Dalam alat digital ini aku dengar bahwa mereka sedang membicarakan soal dakwah mereka. Ya! Mereka akan dakwah kepada warga mekah saat itu. Aku mencoba memutar sedikit jarum arloji itu. Aku tertarik kembali pada peristiwa lain. Peristiwa di mana aku melihat Rasul dan para sahabat berjalan di pusat kota mekah dan kaum Quraisy melempari mereka dengan batu. Hingga kulihat wajah Rasul penuh dengan darah dan giginya rontok. Wajahku basah. Aku menangis. Jahat sekali orang-orang itu! Iya melempari nabiku!
Aku putar beberapa menit, aku berada pada peristiwa pemboikotan yang dilakukan Bani Quraisy terhadap Bani Hasyim. Tak ada makanan yang dapat mereka makan. Aku melihat mereka memakan rumput. Aku benci melihat ini! Hidupku lebih nyaman dari orang-orang ini. Hidup mereka adalah perjuangan menegakan agama Allah. Tapi apa yang aku lakukan? Aku menyia-nyiakan semuanya. Ya Allah, jahatnya kaum Quraisy! Semoga Allah melaknat mereka. Tidak seorang penduduk Mekkah pun yang diperkenankan melakukan hubungan jual beli dengan Bani Hasyim. Persetujuan itu dibuat dalam bentuk piagam dan ditandatangani bersama serta disimpan di dalam Kabah. Dengan pemboikotan ini, seluruh umat Islam terkepung di lembah pegunungan dan terputus dari berbagai komunikasi dengan dunia luar.
Pemboikotan ini terjadi selama tiga tahun. Yang kulihat Akibat pemboikotan tersebut, Bani Hasyim menderita kelaparan, kemiskinan, kesengsaraan. Tubuh mereka sangat kurus dan di bawah sebuah pohon aku mendengar lantunan ayat suci Al-Quran, aku menangis kembali. Yang membaca ayat suci itu adalah Rasulullah. Betapa berat perjuangan Rasul dan para sahabat. Itu bukti kecintaan mereka kepada Allah. Lalu bagaimana dengan kehidupan di zamanku? Mereka berfoya-foya seolah-olah tak ada hal yang penting bagi mereka. Orang-orang di zamanku terlalu asyik dengan urusannya dan melupakan semua perintah Allah lewat perjuangan Rasul. Seperti diriku ini yang enggan diatur oleh syariat islam. Aku malu ya Allah!
Aku putar lagi jarum arloji itu dan aku berada di suatu rumah dan aku melihat rasul sedang menangis. Dan seorang laki-laki tegap bersama perempuan yang sangat cantik datang menemui rasul yang tengah menangis. Siapakah mereka? Apa yang mereka bicarakan? Aku langsung merekam percakapan mereka. Ternyata itu Fatimah, putri Rasul dan suaminya saydina Ali.
Fatimah bertanya kepada ayahnya lalu Beliau menjawab;
“Pada malam aku di-isra’-kan, aku melihat perempuan-perempuan sedang disiksa dengan berbagai siksaan di dalam neraka. Itulah sebabnya mengapa aku menangis. Karena menyaksikan mereka disiksa dengan sangat berat dan mengerikan.”
Fatimah kemudian menanyakan apa yang dilihat ayahandanya.
“Aku lihat ada perempuan digantung rambutnya, otaknya mendidih. Aku lihat perempuan digantung lidahnya, tangannya diikat ke belakang dan timah cair dituangkan ke dalam tengkoraknya. Aku lihat perempuan yang badannya dseperti himar, beribu-ribu kesengsaraan dihadapinya. Aku lihat perempuan yang rupanya seperti anjing, sedangkan api masuk kelalui mulut dan keluar dari duburnya sementara malakat memukulnya dengan gada dari api neraka,”
Lalu Fatimah menanyakan mengapa mereka disiksa seperti itu. Rasulullah menjawab;
“Wahai putriku, adapun mereka yang tergantung rambutnya hingga otaknya mendidih adalah wanita yang tidak menutup rambutnya sehingga terlihat oleh laki-laki yang bukan muhrimnya. Perempuan yang digantung susunya adalah istri yang menyusui anak orang lain tanpa seizin suaminya. Perempuan yang tergantung kedua kakinya ialah yang tidak taat kepada suaminya, ia keluar rumah tanpa izin suaminya, dan perempuan yang tidak mau mandi suci dari haid dan nifas. Perempuan yang memakan badannya sendiri ialah karena ia berhias untuk lelaki yang bukan muhrimnya dan suka mengumpat orang lain. Perempuan yang memotong badannya sendiri dengan gunting api neraka karena ia memperkenalkan dirinya kepada orang lain yang bukan muhrim dan dia bersolek supaya kecantikannya dilihat laki-laki bukan muhrimnya.” Mendengar itu, Sayidina Ali dan Fatimah Az-Zahra pun turut menangis. Aku merinding dan aku menangis kembali mendengarnya. Selama ini aku tak menutup auratku secara sempurna. Aku tak pernah mau mempelajari ayat-ayat Allah. Neraka itu pedih! Ya Allah lindungi aku dari siksa neraka.
Arloji menunjukan pukul 03:30 dan aku memasuki dimensi lain. Aku melihat pagi itu, Rasulullah dengan suara terbata-bata memberikan petuah: “Wahai umatku, kita semua ada dalam kekuasaan Allah dan Cinta Kasih-Nya. Maka taati dan bertakwalah hanya kepada-Nya. Kuwariskan dua hal pada kalian, Sunnah dan Al-Qur’an. Barang siapa yang mencintai Sunnahku berarti mencintai aku, dan kelak orang-orang yang mencintaiku, akan bersama-sama masuk surga bersama aku,".

Khutbah singkat itu diakhiri dengan pandangan mata Rasullah yang teduh menatap sahabatnya satu persatu. Abu Bakar menatap mata itu dengan berkaca-kaca. Umar dadanya naik turun menahan nafas dan tangisnya. Ustman menghela nafas panjang dan Ali menundukan kepalanya dalam-dalam.

Isyarat itu telah datang, saatnya sudah tiba “Rasulullah akan meninggalkan kita semua,” desah hati semua sahabat kala itu. Inilah detik-detik kepergian rasulullah. Aku memandang dari jauh kesedihan wajah para sahabat rasul. Lalu kuputar 10 menit dan matahari kian tinggi, tapi pintu rumah Rasulullah masih tertutup. Sedang di dalamnya, Rasulullah sedang terbaring lemah dengan keningnya yang berkeringat dan membasahi pelepah kurma yang menjadi alas tidurnya.
Detik-detik semakin dekat, saatnya Izrail melakukan tugas. Perlahan Ruh Rasulullah ditarik. Tampak seluruh tubuh Rasulullah bersimbah peluh, urat-urat lehernya menegang.

“Jibril, betapa sakit sakaratul maut ini,” ujar Rasulullah mengaduh lirih.

Fatimah terpejam, Ali yang di sampingnya menunduk semakin dalam dan Jibril memalingkan muka.
“Jijikkah engkau melihatku, hingga kaupalingkan wajahmu, wahai Jibril?” tanya Rasulullah pada malaikat pengantar wahyu itu.
“Siapakah yang tega, melihat kekasih Allah direngut ajalnya,” kata Jibril. Sebentar kemudian terdengar Rasulullah memekik karena sakit yang tak tertahankan lagi.
“Ya Allah, dahsyat nian maut ini, timpakan saja semua siksa maut ini kepadaku, jangan kepada umatku.” Badan Rasulullah mulai dingin, kaki dan dadanya sudah tak bergerak lagi. Bibirnya bergetar seakan hendak membisikan sesuatu, Ali segera mendekatkan telinganya.
“Peliharalah shalat dan santuni orang-orang lemah diantaramu” Di luar pintu, tangis mulai terdengar bersahutan, sahabat saling berpelukan. Fatimah menutupkan tangan diwajahnya, dan Ali kembali mendekatkan telinganya ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan.
“Ummatii. ummatii. ummatii.” Ucap Rasul dengan lirih. Tangisku pecah seketika itu. Dari sudut kamar Rasul aku duduk dan menangis menatap kesedihan yang melingkupi ruangan itu. Bagaimana tidak! Rasul mengingat umatnya sampai ia wafat. Tapi kami melupakannya. Ya Allah pertemukan dan izinkan aku bertemu dengannya di surga-Mu kelak.
Tiba saatnya aku kembali ke dimensi tempatku berada. Aku memiliki 10 menit lagi untuk berjalan ke tempat semula . Tiba-tiba Fauzi memanggilku. Mataku merah dan tubuhku lemas.
“Kenapa Pril? Ayo kita balik lagi, jangan sampai terlambat.”
“Aku baru sadar zi, selama ini aku hina di mata Allah.”
“sudah pril, aku paham kok perasaanmu,”
“sebentar zi, aku mau minta waktu lima menit lagi. Aku mau melihat sesuatu.” Aku memutar arloji itu beberapa putaran. Aku ingin melihat jodohku. Dimensi itu memperlihatkan diriku yang duduk di pelaminan yang terpisah antara laki-laki dan perempuan. Aku sudah islami kurasa. Aku memaksa Fauzi untuk diam dan tidak ikut mencari tahu siapa lelaki yang menjadi jodohku. Alangkah terkejutnya diriku. Telah duduk seorang laki-laki menggunakan pakaian rapi, dan orang itu adalah Fauzi. Aku dan Fauzi saling menatap dan tanpa berkata apapun, kami menembus cahaya itu dan kembali ke rumah tepatnya kamarku.
Tak ada sepatah kata yang terucap dari Fauzi. Fauzi langsung berpamitan untuk pulang dan aku mengembalikan arloji itu dan ternyata jarum arloji itu hilang.
“Yah Pril, kamu orang terakhir yang pake arloji ini, sekarang rusak. Kuharap kamu bisa menjada rahasia ini ya. Karena kalaupun kita bicara, banyak orang yang akan mengira kita gila. Apalagi untuk yang terakhir, kuharap itu menjadi rahasia kita. Oh ya, Leli akan menghubungimu nanti. Kuharap kamu langsung mau mengkaji islam ya pril”
“Iya zi, aku pasti jaga semua ini. Apalagi yang terakhir. Maaf kalau tadi aku udah lancang dan bikin kita ngeliat semuanya”
“Ya gak apa-apa Pril, itu kan bukan kehendak kita.”
“besok datang kajian di mesjid komplek ya, bareng Leli aja.”
“Iya zi insya allah aku datang, cepet kamu pergi. Kamu bukan muhrimku sekarang”
“Ciee udah tobat. Ok ok Assalamualaikum ”
“Syuttt parah lu!”
Aku hampir tak percaya dengan semua hal yang terjadi satu jam yang lalu. Aku seolah telah pergi selama bertahun-tahun namun ternyata hanya 30 menit. Aku mulai merindunya. Merindukan Rasulullah. Aku mencintai-Mu dan kekasih-Mu. Semoga bom waktu ini akan membawaku pada-Nya dan kekasih-Nya, Rasulullah. Aamiin



***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar