Cahaya
telah beranjak dari singgasananya yang begitu indah. Ia meninggalkan sebuah
cerita romantiknya dengan bumi. Lampu-lampu malam melambaikan kerlip warnanya
yang pudar. Lampu-lampu itu adalah sosok
yang senantiasa mengingatkanku pada lampu gantung di tengah rumah. Terlebih
lampu berwarna hijau itu. Rumahku yang bercat merah dan beberapa foto yang
menggantung di ruang tengah. Ada yang kurindukan dari tempat yang telah lama
tak kusinggahi lagi. Aku telah lama meninggalkan rumah dan hampir satu tahun
tak berjumpa dengan manusia-manusia penghuni rumah bercat merah itu.
Beberapa menit saja aku memikirkan
lampu itu membuatku muak dan terselip rasa ingin mengintip masa lalu. Tapi
tolonglah, aku tak mau terjebak lagi pada nostalgia yang indah.
“hey lu ngelamunin
apa?”
“gak kok say, aku ga
ngapa-ngapain”
“cepet turun terus
masuk”
Aku bergegas turun dari mobil lalu
menyusuri beberapa tangga menuju lantai 2. Suasana gelap mulai menerkam dan
musik keras mulai terdengar dibalik ruangan itu. Tempat itu menjadi tempat
persinggahanku ketika penat mulai menghantui, tugas-tugas yang menakutkan dan
kelelahan stadium akhir. Aku berkuliah di suatu perguruan tinggi negeri di
Jakarta. Semester terakhir ini membuatku menggila. Dan satu hal, sesuatu telah
membuatku tak seperti dulu.
“ayo duduk!” tegur Andi yang lebih
dulu duduk. Baru kali ini aku merasa terasing padahal sudah setahun terakhir
ini aku sering mengunjungi tempat ini. Ada beban yang menggelayuti hatiku ini.
Ada serpihan luka yang belum terobati, ada kerinduan yang belum tersampaikan,
ada kehangatan yang kurindukan.
Di hadapanku
berdiri beberapa botol wine, segelas cocktails, dan liquor milik beberapa clubbers
lain. Aku hanya termenung dan menatap beberapa gelas itu. Bentuknya mirip
sekali dengan gelas milik ibu yang tertata rapih di sebuah lemari kaca di sudut
dapur. Ibu sangat menyayangi gelas kesayangannya itu. Ibu, kau sedang apa?
“kamu
melamun terus Ta, kenapa sih? Kamu ga suka sama tempat ini? Jadi udah gak mau lagi nemenin gue kesini?” Tanya Dina, sahabatku
“Enggak
kok say, tolong jangan marah. Ngertiin aku sedikit aja?”
“Aku
ga peduli! Kamu aneh tau ga!”
“Hmm..
Ndi, anterin gue pulang ke kostan sekarang ya?”
“Ha?
Pulang? Kita baru nyampe dan lu seenaknya aja ngajak balik?”
“Gue ga enak hati, gue butuh istirahat”
“Ini
gue kasih duit, lu balik sendiri aja
pake travel atau apa kek”
“Tapi
Ndi, “
“Udah
deh, sejam lagi gue harus ng-DJ ngeganti temen gue.”
Akhirnya aku terpaksa menunggu Andi
hingga larut malam. Aku telah mengenal Andi di semester lima. Dia senior yang
telah mengikat hatiku setahun ini. Ada sesuatu yang mengubahku menjadi sesuatu
yang lain. Aku tak melihat itu. Tapi kawan lamaku yang berujar. Mereka sok
tahu. Aku tak pernah berubah. Bukankah waktu yang telah berubah? Bukankah
mereka yang kolot? Aku terkadang gerah mendengarkan ocehan mereka. aku sampai
tak enak tidur memikirkan omongan mereka. aku ingat apa yang dikatakan
sahabatku sewaktu es-em-a “Ta, apa kamu ga sadar? Kamu berubah Ta! Kamu ga
boleh egois.”
“Ta,
tumben banget kamu ngehabisin satu bungkus rokok. Stress Ta? Daridulu apa gue
bilang? Rokok itu bisa biki lu seger. Mau yang lebih segar ga say? Kita
nge-drugs.”
“Husss!
Sembarangan kamu kalau ngomong”
“Hahaha
jangan muna Ta, kalau lu mau bilang ya.”
“Gak
akanlah, yu balik”
Aku kembali menyusuri lampu-lampu
itu lagi. Aku teringat lagi pada lampu gantung di kamar ibu. Aku menyukai lampu
ibu. Lampu itu bermotif kembang khas keraton berwarna kuning keemasan. Ibu
sangat menyukai benda-benda antik. Selain lampu, ibu memiliki sebagai macam
kain batik dari berbagai pelosok jawa. Namun, ibu menjual seluruh barang
antiknya kepada kolektor dan uangnya ibu gunakan untuk membiayai aku berkuliah.
Kasihan ibu.
Andi terus mengarahkan kemudinya
dengan fokus. Yang bisa kulakukan hanyalah diam di kursi belakang. Aku tak
menyukai kursi depan. Aku trauma sebab aku pernah terjepit pintu saat
bertamasya ke Lembang. Mobilnya sudah tua dan pintunya telah berkarat. Itulah
sebabnya jariku tersangkut dan terjepit. Ibu langsung menghampiriku dan
memastikan bahwa aku tak menangis. Aku memang tak menangis bahkan hingga kini
aku tak ingat kapan terakhir aku menangis. Ibu tak akan membiarkan aku menangis
setetespun. Begitu kata ibu.
“Bruk” tiba-tiba Andi menghentikan
mobilnya secara mendadak dan menyadarkanku dari lamunan. Aku tersentak dan
tubuhku beradu dengan jok depan. Andi menabrak sesuatu. Wajahnya panik. Aku
dipaksa turun untuk melihat apa yang terjadi. Ya! Hanya seekor ayam ternyata.
Tapi ayam itu mati. Aku merasa sangat bersalah. Aku langsung menyuruh Andi
untuk menyingkirkan ayam itu. Ada hal aneh apa yang menimpaku semalaman ini.
Mengapa hatiku tak nyaman dan sekarang ada kejadian buruk.
Akhir-akhir
ini selalu teringat ibu. Kurasa ibu baik-baik saja. Kudengar ia baru saja
pulang dari tanah suci. Ibu memang wanita sholehah. Dulu sewaktu aku duduk di
bangku es-em-pe, ibu pernah mengunciku dari luar karena aku pulang terlalu
malam. Aku pernah dipukul ibu karena aku menolak diajaknya shalat maghrib. Ibu
sampai-sampai memasukkan aku ke pesantren. Jadilah aku wanita berjilbab. Namun
akhir-akhir ini aku telah menanggalkan jilbabku. Aku memang nakal, begitu kata
ibu.
Aku
telah sampai di depan kamar kost. Andi langsung menancapkan gas dan berlalu
begitu saja. Sial! Dia melihatku melamun sejak kami pergi ke club. Dia kesal melihat tingkahku. Tapi
baiklah. Yang harus kufikirkan saat ini adalah bagaimana caranya aku
menghilangkan rasa cemasku ini. Ibu dan ibu. Mengapa ibu? Kutelfon sajakah?
Namun nomer ibu telah kuhapus. Dan aku tak menggunakan alat komunikasi itu
lagi. Aku bosan menjawab telfon ibu yang selalu memastikan ini itu, shalat,
tahajud, dan segudang aktivitas lain.
Apa aku harus pulang ke Surabaya?
Baiklah aku menyerah. Aku memang
benar-benar harus pulang. Aku harus membuat hatiku tenang. Aku langsung
bergegas membawa beberapa baju ganti. Aku mengunci kamar dan meminitipkannya
pada ibu kost. Berharap menemukan sebuah bus menuju Stasiun Kota namun nihil.
Aku duduk di depan sebuah toko roti. Itu roti kesukaan ibu. Baiklah akan
kubelikan sekotak untuk ibu. Aku menemukan sebuah bus lalu menaikinya.
Sesampainya di stasiun aku langsung memesan tiket dan beberapa jam lagi aku
langsung bisa berangkat. Kebijakan stasiun itu telah berubah. Mungkin aku yang
tak tahu karena setahun tak pulang ke Surabaya. Aku harus menunggu di luar. Aku
mengikuti langkah orang-orang itu. Mereka duduk di pelataran masjid dekat
stasiun. Hari ini langit masih malu-malu menampakan cahayanya. Aku tertidur.
“De,
keretanya sudah ada”
Aku terbangun karena ada seorang
yang membangunkanku. Aku langsung bergegas ke stasiun lalu menduduki kursi
belakang. Aku sendirian. Kesepian mulai menggelayuti hatiku kembali. Beberapa
orang yang berlalu lalang mencari kursi tak kuhiraukan. Aku mengantuk kembali.
kulanjutkan tidurku kembali hingga sampai di Stasiun Surabaya Kota atau lebih
dikenal dengan nama Stasiun Semut. Stasiun ini terletak di Bongkaran. Hanya
dengan menaiki angkot jurusan Pabean. Aku langsung sampai di depan rumah. Rumah
bercat merah itu.
Turun dari angkot, hatiku mendadak
senang sekali. Setahun tak pulang ternyata rindu juga. Aku menatap rumah bercat
merah itu dengan penuh haru. Namun catnya tampak pudar dan halamannya tamak
terawat. Dulu Ayah rajin sekali menata setiap sudut taman bersama ibu. Namun
sekarang sepertinya Ayah dan ibu tak seantusias dahulu.
Aku berdiri di depan pagar dan
beberapa kali memanggil ayah atau ibu. Namun tak ada jawaban. Tetanggaku mbok
Ranum menghampiriku dan menyerahkan padaku kunci pagar dan rumah. Aku heran
sekali, kemana ayah dan ibu. Mbok Ranum bilang Ibu dan ayah pergi seminggu yang
lalu namun mereka sepertinya tak menyebutkan tempat yang dituju kepada mbok
ranum. Tentulah mbok ranum bingung menjawab pertanyaanku.
Aku membuka pagar lalu membuka pintu
tua itu. Sepi sekali. Aku tiba-tiba ingin sekali menangis. Tapi aku tak boleh
menangis kata ibu. Tapi mengapa di saat aku kembali ibu tak ada? Ibu tidak pergi untuk selamanya bukan? Ahh!
Fikiranku mulai membayangkan sesuatu yang buruk. Semoga tidak.
Aku masuk ke kamarku dahulu.
Seprainya masih seperti yang dulu. Seprai bermotif bunga-bunga kecil yang ibu
belikan di pasar serambi. Tak ada yang meniduri kasur ini selama setahun
kurasa. Aku merebahkan tubuhku karena lelah duduk berjam-jam di gerbong kereta.
Aku merasa lapar sekali. Aku bergegas ke dapur. Tak kutemukan beberapa olahan
yang bisa kusulap menjadi makanan. Sebaiknya aku ke rumah Mbok Ranum saja. Saat
berjalan melewati lemari. Aku melihat foto keluarga terakhir bersama ayah dan
ibu. Walaupun setahun tak pulang, rasanya seperti 20 tahun. Ibu cantik sekali,
jilbab ibu indah dan kemeja ayah senada dengan motif jilbab kami berdua. Aku
masih menyimpan baju seragam keluarga itu di lemari. Aku ingin sekali kembali
berfoto bersama mereka.
Namun aku berfikir kembali. Malulah
aku jika aku ke rumahnya hanya untuk meminta sepiring nasi. Kumakan saja
sekotak roti yang aku beli di Jakarta pagi tadi. Kurasa ibu tak akan marah jika
aku hanya memotongnya sedikit.
Ibu dan ayah lama sekali. Jam
menunjukan pukul delapan malam namun mereka belum terlihat. Apa mereka tidak
mengkhawatirkanku? Aku memang nakal. Aku
memang tak mau diatur. Tapi bukankah aku tetap anak mereka? mengapa mereka tak
berusaha menghubungiku? Menanyakan kabarku lewat sahabatku atau siapapun yang
mereka kenal di Jakarta. Apa mereka tak menyayangiku? Ayah, ibu, kalian kemana?
Baiklah aku akan tidur lebih dulu. Mungkin esok pagi saat aku terbangun mereka
sudah ada di rumah.
Kokokan ayam milik Mbok ranum membangunkan
tidurku yang pulas. aku ke kamar mandi yang letaknya dekat halaman belakang.
Sepertinya bukan halaman belakang. Ini lebih terlihat seperti sebuah tempat
yang kehabisan genting. Mungkin ayah sengaja memberi beberapa ruang hijau di
belakang rumah untuk menjemur baju. Ibu selalu menjemur baju kami di sana. Aku
lihat beberapa baju ayah tergantung di sana. Apa ibu baru saja menjemur baju?
Bajunya masih basah. Apa tadi malam ibu sudah pulang? Mengapa ada pakaian basah
yang terjemur? Aku berlari mencari ibu. Rumah kami begitu luas. Aku harus
bersusah payah mencari ibu di setiap ruangan. Aku mencari di dapur tidak
ada.,di kamar bi retno tak ada, di kamar
mandi pun tak ada. Apa ibu di kamar? Aku bergegas ke kamar ibu. Namun ibu tetap
tak ada. Kumenatap ke luar jendela. Di atas tanah yang basah itu tak ada mobil
tua ayah. Dan baju yang basah itu adalah jemuran yang tak sempat ibu ambil
seminggu yang lalu dan kini basah diguyur hujan semalam.
Aku mengintip lemari ibu. Saat
kubuka. Tak kutemukan sehelai pakaian ibu di sana. Hanyalah beberapa gantungan
baju yang menggantung. Mengapa semua baju ibu tak ada? Ibu kemana? Aku
merindukan baju ibu yang wangi. Kehangatan pelukakn ibu, ocehan ibu, omelan
ibu, dan segala hal tentang ibu. Ayah juga. Ayah membawa ibu kemana? Aku rindu
duduk bersama di meja makan. Aku rindu masakan ibu. Mereka jahat! Tak sekalipun
mereka mengunjungiku.
Aku duduk di teras rumah. Akhirnya
aku menangis juga. Kepulanganku ternyata belum cukup membuatku tenang. Hatiku
bertambah cemas sebab tak kutemui mereka 2 hari ini. Air mataku menetes tak
terkendali. Aku rindu menjadi anak berumur enam tahun yang dimanja. aku sangat
menunggu ayah dan ibu pulang. Aku menyerah. Aku bergegas masuk kembali ke dalam
rumah.
Tiba-tiba terdengar suara mobil di
teras rumah. Mobil ayah ternyata. Aku menghapus air mataku lalu berdiri di sisi
pintu. Ayah melihatku namun tak terlihat rona wajahnya yang bahagia menyambut
kepulanganku.
“Nita,
syukurlah kau telah kembali.”
“Ibu?”
“Ibu
sakit”
Cukuplah jawaban Ayah membuatku
lemas, penyesalan, dan kehambaran yang menyeruak dalam dadaku. Ibu, kau sakit
apa? Separah itukah? Tangisku menggantung sampai esok aku melihat ibu.
Ibu sakit apaa?
BalasHapusItu imajinasi, ceritanya menggantung, jadi silahkan cari sendiri hihi :D
BalasHapus