Kamis, 19 Desember 2013

Kisah kursi yang menunggu



Menunggu,
kau selalu bisa membuatku bersabar. Aku tetap duduk manis bahkan dalam cuaca apapun.











Ada yang memintaku untuk menunggu beberapa saat,

Aku menikmati saat-saat ini. menanti kelak ia akan menemuiku dan membawaku pergi jauh sekali.
Dia tak penah tahu bagaimana rasanya menunggu. Indah namun di dalamnya penuh dengan kesedihan yang mendalam. Dia tak pernah tahu aku khawatir tentangnya. Aku pun khawatir tentang perasaanku yang berlarut-larut tak menentu. Bukan aku ingin mempercepat kedatanganmu. Bukan untuk itu!

Naluriku kadang memunculkan hal yang membuatku tersentak sedemikian hebat. Kadang aku bertanya-tanya tentang perasaanku sendiri. mengapa aku begini? mengapa aku begitu? namun tak pernah terjawab. syetan yang terkadang memintaku untuk memikirkan hal yang ia tawarkan. Perasaan yang tak menentu itu hanya sementara.
Kebingungan itu berawal dari aku yang merasa tak yakin harus menunggu di kursi ini. Apa ini kursi yang nyaman untuk kududuki selagi menunggu kedatangannya? Aku harus merasakan dan membuat badan ini nyaman. Aku harus memastikan bahwa aku tak akan lelah menunggu. Kepastian yang bukan milikku. aku hanya bertugas sebagai juru tunggu yang menunggu penumpang datang.
Aku hanya tak bisa sabar. Bisa. Aku bisa bersabar. Sejauh ini pun aku telah banyak bersabar. Sebab hidup itu memang harus bersabar. Di akhirat kelak pun kita harus banyak bersabar.
Bagaimana ini? Aku diterkam oleh hatiku sendiri.

Aku dihantui bayang-bayang ketidakpastian di setiap malam. Maka di malam yang sama pula aku harus bertanya pada-Nya. Namun, dia seperti menguatkanku untuk tetap duduk manis di kursi itu. kursi yang telah ia buat dan ia pahat dengan teknik yang ia kuasai sampai membuatku nyaman duduk di kursi itu.
pernahkah merasakan dihantui rasa rindu? aku rindu kala aku tak melihat warna hijau sebagai simbol sosoknya. ia muncul di malam hari tanpa meninggalkan sesuatu. Aku paham, ini bukan waktu yang tepat untuk saling berbagi warna. Aku harus mematikan warna hijau agar ia tak tahu bahwa aku menunggu malam.


Pernahkah dihantui rasa iri yang sangat dalam? Aku tahu ini sesuatu yang baik untukku. Tapi kadang aku merasa iri. Aku diabaikan. Dalam mataku, aku melihat ia menyukai kawannya. menyukai dalam artian ia memperlihat kesukaannya pada mereka. tapi padaku? tak pernah lagi. sejak ia memintaku untuk duduk di kursi itu, ia tak lagi mengirim sepucuk surat atau mengomentari hal-hal tentangku. ia seolah menutup mata tentang diriku. aku tahu ini hanya sementara, tapi aku iri pada mereka.

Perasaan ini menjadi bumbu dalam kisah menunggu yang paling dramatis dalam hidupku
Sebuah kisah yang pernah kubayangkan saat aku remaja, dan kini aku tengah menuliskan kisahnya. Ini indah. kisah menunggu ialah kisah yang paling manis. tak lebih dan tak kurang.
aku masih ingin terus menunggu. kursi ini belum reyot. kursi ini masih sanggup untuk menopang tubuhku. kursi ini masih setia menemaniku menuliskan kisah mennunggu milikku sendiri


Tidak ada komentar:

Posting Komentar