Selasa, 14 Oktober 2014

"Kamu kurang peka, aku ga suka"

 
      Seorang kekasih berkata pada kekasihnya "Kamu kurang peka, aku ga suka. Kamu ga bisa ngerti perasaan aku" Please. Pacar bukan suamimu. Ada hak apa dia. Tapi bukan konteks itu yang akan saya tulis. Konteks "kurang peka". Konteks "kurang peka" nampaknya menjadi penyakit akut saat ini. Banyak orang yang sulit untuk merasakan apa yang sedang dirasakan orang lain. 
      Pengalaman yang baru saya alami tadi pagi. Saya meninggalkan hape secara tak sengaja di atas mesin ATM. Beberapa menit kemudian hilang begitu saja. Yang menemukan nampaknya kurang peka, bahwa pemilik hp lalai. Penemu kurang peka bahwa sang pemilik pasti membutuhkan hp-nya. Kurang peka. Coba posisikan diri sebagai sosok yang kehilangan. Pasti uring-uringan ketika kehilangan barang yang berharga. Jangan sampai ingin aman sendiri sedangkan milik orang lain dianggap tak penting. 
      Ada hal yang menarik dalam pikiran. Mungkin penemu mengira itu rezeki tanpa tahu bahwa ada hak orang yang sedang dia rampas. Selain saya, ada dua teman lain yang merasakan hal yang sama, sahabat sendiri. Apa iya saya harus memelas "kamu kurang peka, aku butuh hp itu" Baiklah. Mungkin ini hukum bagi saya yang lalai. Dan rezeki *mungkin bagi yang menemukan
      Lucu sekali, ketika tersadar hape tertinggal. Hati saya merekah, ada senyum dalam kepanikan. Hati saya berbisik "Pasti hilang, apa sih yang gak hilang.
      Penyakit Kurang Peka  ini sepertinya juga menjangkit beberapa pemimpin negeri ini. Kurang peka saat merampas hak (uang) negara. Kurang peka bahwa uang negara adalah uang untuk kepentingan negara. Bukan kepentingan pribadi. Menganggap rezeki padahal amanah. Ya inilah adanya. Pelajarannya adalah kita harus lebih peka. Tenggang rasa.Kurang Peka itu istilah baru dari kasus lama. Kalau saya dan mama menyebutnya "Ternyata ada ya orang yang kaya gitu," Permasalahan hp tak masalah karena sudah terjadi dan saya yakin kelak ada gantinya. Hanya saja saya tertarik pada istilah Kurang Peka yang cocok ditempelkan di mana pun. 
Tulisan ini akan saya tutup dengan puisi Sapardi Djoko Damono, Hujan Bulan Juni
Tak ada yang lebih tabah
Dari hujan bulan Juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
Kepada pohon berbunga itu

Tak ada yang lebih bijak
Dari hujan bulan Juni
Dihapusnya jejak-jejak kakinya
Yang ragu-ragu di jalan itu

Tak ada yang lebih arif
Dari hujan bulan Juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan
Diserap akar pohon bunga itu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar