Rabu, 04 Desember 2013

Menggantung

   Cahaya telah beranjak dari singgasananya yang begitu indah. Ia meninggalkan sebuah cerita romantiknya dengan bumi. Lampu-lampu malam melambaikan kerlip warnanya yang pudar.  Lampu-lampu itu adalah sosok yang senantiasa mengingatkanku pada lampu gantung di tengah rumah. Terlebih lampu berwarna hijau itu. Rumahku yang bercat merah dan beberapa foto yang menggantung di ruang tengah. Ada yang kurindukan dari tempat yang telah lama tak kusinggahi lagi. Aku telah lama meninggalkan rumah dan hampir satu tahun tak berjumpa dengan manusia-manusia penghuni rumah bercat merah itu.
      Beberapa menit saja aku memikirkan lampu itu membuatku muak dan terselip rasa ingin mengintip masa lalu. Tapi tolonglah, aku tak mau terjebak lagi pada nostalgia yang indah.

“hey lu ngelamunin apa?”
“gak kok say, aku ga ngapa-ngapain”
“cepet turun terus masuk”
            Aku bergegas turun dari mobil lalu menyusuri beberapa tangga menuju lantai 2. Suasana gelap mulai menerkam dan musik keras mulai terdengar dibalik ruangan itu. Tempat itu menjadi tempat persinggahanku ketika penat mulai menghantui, tugas-tugas yang menakutkan dan kelelahan stadium akhir. Aku berkuliah di suatu perguruan tinggi negeri di Jakarta. Semester terakhir ini membuatku menggila. Dan satu hal, sesuatu telah membuatku tak seperti dulu.
            “ayo duduk!” tegur Andi yang lebih dulu duduk. Baru kali ini aku merasa terasing padahal sudah setahun terakhir ini aku sering mengunjungi tempat ini. Ada beban yang menggelayuti hatiku ini. Ada serpihan luka yang belum terobati, ada kerinduan yang belum tersampaikan, ada kehangatan yang kurindukan.
            Di hadapanku berdiri beberapa botol wine, segelas cocktails, dan liquor milik beberapa clubbers lain. Aku hanya termenung dan menatap beberapa gelas itu. Bentuknya mirip sekali dengan gelas milik ibu yang tertata rapih di sebuah lemari kaca di sudut dapur. Ibu sangat menyayangi gelas kesayangannya itu. Ibu, kau sedang apa?
            “kamu melamun terus Ta, kenapa sih? Kamu ga suka sama tempat ini? Jadi udah gak mau lagi                          nemenin gue kesini?” Tanya Dina, sahabatku
             “Enggak kok say, tolong jangan marah. Ngertiin aku sedikit aja?”
             “Aku ga peduli! Kamu aneh tau ga!”
              “Hmm.. Ndi, anterin gue pulang ke kostan sekarang ya?”
              “Ha? Pulang? Kita baru nyampe dan lu seenaknya aja ngajak balik?”
              “Gue ga enak hati, gue butuh istirahat”
              “Ini gue kasih duit, lu balik sendiri aja pake travel atau apa kek
              “Tapi Ndi, “
               “Udah deh, sejam lagi gue harus ng-DJ ngeganti temen gue.”
       Akhirnya aku terpaksa menunggu Andi hingga larut malam. Aku telah mengenal Andi di semester lima. Dia senior yang telah mengikat hatiku setahun ini. Ada sesuatu yang mengubahku menjadi sesuatu yang lain. Aku tak melihat itu. Tapi kawan lamaku yang berujar. Mereka sok tahu. Aku tak pernah berubah. Bukankah waktu yang telah berubah? Bukankah mereka yang kolot? Aku terkadang gerah mendengarkan ocehan mereka. aku sampai tak enak tidur memikirkan omongan mereka. aku ingat apa yang dikatakan sahabatku sewaktu es-em-a “Ta, apa kamu ga sadar? Kamu berubah Ta! Kamu ga boleh egois.”
“Ta, tumben banget kamu ngehabisin satu bungkus rokok. Stress Ta? Daridulu apa gue bilang? Rokok itu bisa biki lu seger. Mau yang lebih segar ga say? Kita nge-drugs.”
“Husss! Sembarangan kamu kalau ngomong”
“Hahaha jangan muna Ta, kalau lu mau bilang ya.”
“Gak akanlah, yu balik”
       Aku kembali menyusuri lampu-lampu itu lagi. Aku teringat lagi pada lampu gantung di kamar ibu. Aku menyukai lampu ibu. Lampu itu bermotif kembang khas keraton berwarna kuning keemasan. Ibu sangat menyukai benda-benda antik. Selain lampu, ibu memiliki sebagai macam kain batik dari berbagai pelosok jawa. Namun, ibu menjual seluruh barang antiknya kepada kolektor dan uangnya ibu gunakan untuk membiayai aku berkuliah. Kasihan ibu.
       Andi terus mengarahkan kemudinya dengan fokus. Yang bisa kulakukan hanyalah diam di kursi belakang. Aku tak menyukai kursi depan. Aku trauma sebab aku pernah terjepit pintu saat bertamasya ke Lembang. Mobilnya sudah tua dan pintunya telah berkarat. Itulah sebabnya jariku tersangkut dan terjepit. Ibu langsung menghampiriku dan memastikan bahwa aku tak menangis. Aku memang tak menangis bahkan hingga kini aku tak ingat kapan terakhir aku menangis. Ibu tak akan membiarkan aku menangis setetespun. Begitu kata ibu.
            “Bruk” tiba-tiba Andi menghentikan mobilnya secara mendadak dan menyadarkanku dari lamunan. Aku tersentak dan tubuhku beradu dengan jok depan. Andi menabrak sesuatu. Wajahnya panik. Aku dipaksa turun untuk melihat apa yang terjadi. Ya! Hanya seekor ayam ternyata. Tapi ayam itu mati. Aku merasa sangat bersalah. Aku langsung menyuruh Andi untuk menyingkirkan ayam itu. Ada hal aneh apa yang menimpaku semalaman ini. Mengapa hatiku tak nyaman dan sekarang ada kejadian buruk.
Akhir-akhir ini selalu teringat ibu. Kurasa ibu baik-baik saja. Kudengar ia baru saja pulang dari tanah suci. Ibu memang wanita sholehah. Dulu sewaktu aku duduk di bangku es-em-pe, ibu pernah mengunciku dari luar karena aku pulang terlalu malam. Aku pernah dipukul ibu karena aku menolak diajaknya shalat maghrib. Ibu sampai-sampai memasukkan aku ke pesantren. Jadilah aku wanita berjilbab. Namun akhir-akhir ini aku telah menanggalkan jilbabku. Aku memang nakal, begitu kata ibu.
Aku telah sampai di depan kamar kost. Andi langsung menancapkan gas dan berlalu begitu saja. Sial! Dia melihatku melamun sejak kami pergi ke club. Dia kesal melihat tingkahku. Tapi baiklah. Yang harus kufikirkan saat ini adalah bagaimana caranya aku menghilangkan rasa cemasku ini. Ibu dan ibu. Mengapa ibu? Kutelfon sajakah? Namun nomer ibu telah kuhapus. Dan aku tak menggunakan alat komunikasi itu lagi. Aku bosan menjawab telfon ibu yang selalu memastikan ini itu, shalat, tahajud, dan segudang aktivitas lain.
            Apa aku harus pulang ke Surabaya?
            Baiklah aku menyerah. Aku memang benar-benar harus pulang. Aku harus membuat hatiku tenang. Aku langsung bergegas membawa beberapa baju ganti. Aku mengunci kamar dan meminitipkannya pada ibu kost. Berharap menemukan sebuah bus menuju Stasiun Kota namun nihil. Aku duduk di depan sebuah toko roti. Itu roti kesukaan ibu. Baiklah akan kubelikan sekotak untuk ibu. Aku menemukan sebuah bus lalu menaikinya. Sesampainya di stasiun aku langsung memesan tiket dan beberapa jam lagi aku langsung bisa berangkat. Kebijakan stasiun itu telah berubah. Mungkin aku yang tak tahu karena setahun tak pulang ke Surabaya. Aku harus menunggu di luar. Aku mengikuti langkah orang-orang itu. Mereka duduk di pelataran masjid dekat stasiun. Hari ini langit masih malu-malu menampakan cahayanya. Aku tertidur.
“De, keretanya sudah ada
            Aku terbangun karena ada seorang yang membangunkanku. Aku langsung bergegas ke stasiun lalu menduduki kursi belakang. Aku sendirian. Kesepian mulai menggelayuti hatiku kembali. Beberapa orang yang berlalu lalang mencari kursi tak kuhiraukan. Aku mengantuk kembali. kulanjutkan tidurku kembali hingga sampai di Stasiun Surabaya Kota atau lebih dikenal dengan nama Stasiun Semut. Stasiun ini terletak di Bongkaran. Hanya dengan menaiki angkot jurusan Pabean. Aku langsung sampai di depan rumah. Rumah bercat merah itu.
            Turun dari angkot, hatiku mendadak senang sekali. Setahun tak pulang ternyata rindu juga. Aku menatap rumah bercat merah itu dengan penuh haru. Namun catnya tampak pudar dan halamannya tamak terawat. Dulu Ayah rajin sekali menata setiap sudut taman bersama ibu. Namun sekarang sepertinya Ayah dan ibu tak seantusias dahulu.
            Aku berdiri di depan pagar dan beberapa kali memanggil ayah atau ibu. Namun tak ada jawaban. Tetanggaku mbok Ranum menghampiriku dan menyerahkan padaku kunci pagar dan rumah. Aku heran sekali, kemana ayah dan ibu. Mbok Ranum bilang Ibu dan ayah pergi seminggu yang lalu namun mereka sepertinya tak menyebutkan tempat yang dituju kepada mbok ranum. Tentulah mbok ranum bingung menjawab pertanyaanku.
            Aku membuka pagar lalu membuka pintu tua itu. Sepi sekali. Aku tiba-tiba ingin sekali menangis. Tapi aku tak boleh menangis kata ibu. Tapi mengapa di saat aku kembali ibu tak ada?            Ibu tidak pergi untuk selamanya bukan? Ahh! Fikiranku mulai membayangkan sesuatu yang buruk. Semoga tidak.
            Aku masuk ke kamarku dahulu. Seprainya masih seperti yang dulu. Seprai bermotif bunga-bunga kecil yang ibu belikan di pasar serambi. Tak ada yang meniduri kasur ini selama setahun kurasa. Aku merebahkan tubuhku karena lelah duduk berjam-jam di gerbong kereta. Aku merasa lapar sekali. Aku bergegas ke dapur. Tak kutemukan beberapa olahan yang bisa kusulap menjadi makanan. Sebaiknya aku ke rumah Mbok Ranum saja. Saat berjalan melewati lemari. Aku melihat foto keluarga terakhir bersama ayah dan ibu. Walaupun setahun tak pulang, rasanya seperti 20 tahun. Ibu cantik sekali, jilbab ibu indah dan kemeja ayah senada dengan motif jilbab kami berdua. Aku masih menyimpan baju seragam keluarga itu di lemari. Aku ingin sekali kembali berfoto bersama mereka.
            Namun aku berfikir kembali. Malulah aku jika aku ke rumahnya hanya untuk meminta sepiring nasi. Kumakan saja sekotak roti yang aku beli di Jakarta pagi tadi. Kurasa ibu tak akan marah jika aku hanya memotongnya sedikit.
            Ibu dan ayah lama sekali. Jam menunjukan pukul delapan malam namun mereka belum terlihat. Apa mereka tidak mengkhawatirkanku? Aku memang  nakal. Aku memang tak mau diatur. Tapi bukankah aku tetap anak mereka? mengapa mereka tak berusaha menghubungiku? Menanyakan kabarku lewat sahabatku atau siapapun yang mereka kenal di Jakarta. Apa mereka tak menyayangiku? Ayah, ibu, kalian kemana? Baiklah aku akan tidur lebih dulu. Mungkin esok pagi saat aku terbangun mereka sudah ada di rumah.
            Kokokan ayam milik Mbok ranum membangunkan tidurku yang pulas. aku ke kamar mandi yang letaknya dekat halaman belakang. Sepertinya bukan halaman belakang. Ini lebih terlihat seperti sebuah tempat yang kehabisan genting. Mungkin ayah sengaja memberi beberapa ruang hijau di belakang rumah untuk menjemur baju. Ibu selalu menjemur baju kami di sana. Aku lihat beberapa baju ayah tergantung di sana. Apa ibu baru saja menjemur baju? Bajunya masih basah. Apa tadi malam ibu sudah pulang? Mengapa ada pakaian basah yang terjemur? Aku berlari mencari ibu. Rumah kami begitu luas. Aku harus bersusah payah mencari ibu di setiap ruangan. Aku mencari di dapur tidak ada.,di  kamar bi retno tak ada, di kamar mandi pun tak ada. Apa ibu di kamar? Aku bergegas ke kamar ibu. Namun ibu tetap tak ada. Kumenatap ke luar jendela. Di atas tanah yang basah itu tak ada mobil tua ayah. Dan baju yang basah itu adalah jemuran yang tak sempat ibu ambil seminggu yang lalu dan kini basah diguyur hujan semalam.
            Aku mengintip lemari ibu. Saat kubuka. Tak kutemukan sehelai pakaian ibu di sana. Hanyalah beberapa gantungan baju yang menggantung. Mengapa semua baju ibu tak ada? Ibu kemana? Aku merindukan baju ibu yang wangi. Kehangatan pelukakn ibu, ocehan ibu, omelan ibu, dan segala hal tentang ibu. Ayah juga. Ayah membawa ibu kemana? Aku rindu duduk bersama di meja makan. Aku rindu masakan ibu. Mereka jahat! Tak sekalipun mereka mengunjungiku.
            Aku duduk di teras rumah. Akhirnya aku menangis juga. Kepulanganku ternyata belum cukup membuatku tenang. Hatiku bertambah cemas sebab tak kutemui mereka 2 hari ini. Air mataku menetes tak terkendali. Aku rindu menjadi anak berumur enam tahun yang dimanja. aku sangat menunggu ayah dan ibu pulang. Aku menyerah. Aku bergegas masuk kembali ke dalam rumah.
            Tiba-tiba terdengar suara mobil di teras rumah. Mobil ayah ternyata. Aku menghapus air mataku lalu berdiri di sisi pintu. Ayah melihatku namun tak terlihat rona wajahnya yang bahagia menyambut kepulanganku.
             “Nita, syukurlah kau telah kembali.”
              “Ibu?”
              “Ibu sakit”
            Cukuplah jawaban Ayah membuatku lemas, penyesalan, dan kehambaran yang menyeruak dalam dadaku. Ibu, kau sakit apa? Separah itukah? Tangisku menggantung sampai esok aku melihat ibu.
           


2 komentar: